Adakah hubungan antara Indonesia dengan gerakan
Mujahidin di Afghanistan? Tanpa diketahui banyak orang, Pemerintah RI pernah
mengirim ribuan senapan AK-47 untuk mendukung gerilyawan Mujahidin dalam
menghadapi mesin perang Uni Soviet.
Awal tahun 1970-an dunia dan terutama
negara-negara Asia Tenggara khususnya lagi ASEAN, dikejutkan dengan jatuhnya
Vietnam Selatan ke tangan Vietnam Utara menyusul terusirnya pasukan Amerika
dari daratan Vietnam. Sebagai sesama negara Asean
timbul kekhawatiran akan meluasnya pengaruh ideologi komunis di Asia Tenggara,
yang secara langsung sekaligus membentuk adanya musuh bersama negara-negara
Asean yang kemudian membentuk persepsi yang sama untuk bersama-sama
menghadapinya.
Situasi dunia kala itu masih dilanda era Perang
Dingin antara Amerika Serikat plus negara-negara Barat (NATO) menghadapi Uni
Soviet dengan negaranegara Timur (Pakta Warsawa). Di tengah suasana yang penuh
ketegangan ini, diselingi dengan gejolak-gejolak lokal dalam rangka perebutan
wilayah pengaruh kekuasaan.
Menjelang akhir 1970-an, dunia
bebas (Non-Blok) dikejutkan dengan invasi besar-besaran kekuatan militer Uni
Soviet ke Afghanistan. Pasukan pertama yang dikirim Soviet berasal dari 40th
Army yang mulai memasuki Afghanistan pada 24 Desember 1979. Kedatangan pasukan
Soviet ini segera mendapat reaksi keras dari rakyat Afghanistan, atau lebih
tepatnya gerilyawan Mujahidin yang berjuang menghadapi Republik Demokratik
Afghanistan beraliran Marxist-Leninist dan mendapat dukungan Soviet.
Perlawanan rakyat Afghanistan dalam melawan
Soviet dilaksanakan dengan taktik perang gerilya mengandalkan jiwa turun
menurun bangsa pejuang. Penguasaan atas medan pegunungan yang berbatu dan
bergua menjadi kelebihan para pejuang ini. Para pejuang yang kemudian menyebut
dirinya Mujahidin (pejuang gigih) ini menarik simpati negara bebas (khususnya Islam) untuk
membantu dengan mengirim sukarelawan dan tentunya pula persenjataan.
Sementara Amerika Serikat yang baru saja terpukul
mundur dari Vietnam nyaris tidak berdaya dan khawatir akan terjadi konfrontasi
langsung mengarah kepada perang terbuka. Sehingga tidak berani melibatkan
pasukan daratnya membantu para pejuang di Afghanistan. Dalam keadaan seperti
ini, melalui Pakistan, Amerika memberikan bantuan persenjataan berupa peluru kendali
antipesawat (Stinger) untuk menembak helikopter tempur dan tank Uni Soviet yang ditakuti.
Dengan sejumlah bekal persenjataan bantuan dari AS
tersebut, pejuang Mujahidin bertempur mati-matian memukul mundur pasukan Soviet
yang jelas-jelas lebih terlatih dan dipersenjatai lebih baik. Namun bukan
berarti Mujahidin sama sekali nol besar soal kemiliteran. Sejumlah besar
pejuang Mujahidin dilatih secara khusus oleh CIA pasca masa pemerintahan
Presiden Jimmy Carter. CIA juga memasok senjata, amunisi, dan peralatan.
Pihak intelijen AS juga menghimbau dan melobi
negara-negara dunia bebas serta Asean untuk membantu persenjataan para pejuang
Mujahidin dan menyediakan diri menjadi “koordinator”. Himbauan ini dengan cepat
ditanggapi sejumlah negara. Beberapa negara anggota Asean melalui AS mendahului
membantu dengan mengirimkan persenjataan ringan guna mempersenjatai para
Mujahidin. Bantuan perkuatan juga mengalir dalam bentuk sukarelawan dari Arab
Saudi, Aljazair, Yaman, Pakistan, Filipina dan Indonesia.
Bagaimana reaksi Indonesia? “Kalau kita bisa
(lakukan) sendiri, kenapa harus lewat Amerika,” pikir Letjen TNI L.B. Moerdani,
Kepala Badan Intelijen Strategis ABRI, seperti ditirukan Marsda (Pur) Teddy
Rusdy. Akhirnya pimpinan intelijen ABRI dengan persetujuan pimpinan nasional,
sepakat membantu para pejuang secara tertutup dan langsung tanpa melalui
perantara AS. Maka dipersiapkanlah suatu operasi intelijen yang diberi sandi
Flying Carpets (Permadani Terbang) atau disebut juga Babut Mabur. “Operasi ini
sangat tertutup sehingga hanya diketahui oleh sedikit orang,” ujar Teddy lagi.
LB Moerdani menyambut kedatangan Paus Yohannes Paulus II dalam perjalanannya ke Timor-Timur. Peran sentral LB Moerdani sangat berpengaruh besar dalam setiap operasi intelijen di era itu. |
Jaringan intelijen ABRI mulai bekerja membuka
saluran komunikasi dengan mitranya di luar negeri. Tanggal 18 Februari 1981 di
Islamabad, Pakistan, diadakan pertemuan khusus antara L.B. Moerdani yang didampingi
seorang perwira menengah TNI AU yang merupakan salah satu perwira staf BAIS
dengan jabatan Paban VIII Staf Intel Hankam, Kolonel Udara Teddy Rusdy dengan
pimpinan intelijen Pakistan (ISI, Inter-Services Intelligence). Pertemuan ini
pada intinya membicarakan kesediaan Indonesia membantu dalam hal logistik,
obat-obatan, dan persenjataan. Pimpinan intelijen ABRI menjelaskan bahwa
jajaran ABRI masih memiliki banyak persenjataan yang bisa untuk melengkapi dua
satuan setingkat batalion infanteri. Saat itu juga dijelaskan bahwa Indonesia
masih menyimpan banyak persenjataan buatan Uni Soviet yang digunakan saat
persiapan Tri Komando Rakyat (Trikora) dalam Operasi Pembebasan Irian Barat.
Selain menyampaikan kesediaan Indonesia
memberikan bantuan, poin kedua yang tak kalah pentingnya adalah meminta peranan
intelijen Pakistan membantu kelancaran misi ini. Meliputi membantu mengeluarkan
izin terbang lintas (flight clearance) dan izin mendarat di Rawalpindi bagi
pesawat Indonesia. Pakistan juga diminta menyediakan truk serta pengawalan
sampai penyerahan ke pihak pejuang Mujahidin di Kota Badaber, sekitar 24 km
dari Peshawar kota perbatasan di Pakistan. Akhirnya kedua pejabat intelijen
inipun bersalaman, menandakan bahwa Pakistan siap membantu Indonesia.
Sekembalinya ke Jakarta, tim khusus yang dibentuk
mulai menyusun rencana operasi Permadani Terbang secara sangat tertutup.
Pertama, disiapkan rencana penerbangan dari Lanud Halim Perdanakusuma menuju
sasaran (Rawalpindi) dengan menggunakan pesawat Boeing B707 milik Pertamina
yang dioperasikan oleh Pelita Air Service. Untuk kesuksesan misi, dipilihlah
awak yang sudah terlatih dalam melaksanakan operasi penerbangan intelijen.
Mereka bertiga, yaitu Capt Arifin, Capt Abdullah, dan Capt Danur. Tim juga
menyusun rencana penerbangan (flight plan) dengan beberapa batasan.
Untuk mendukung rencana ini, operasi penerbangan
diberikan “cover” operasi kemanusiaan dengan membawa bantuan berupa obat-obatan
untuk para korban peperangan di Afghanistan. Kemudian disusun rute penerbangan
dengan rencana alternatif darurat menghindari wilayah udara India yang dinilai
sebagai tidak bersahabat dengan Pakistan dan sebaliknya bersahabat dengan Uni
Soviet. Selanjutnya, disusun pula rute penerbangan yang paling aman dari segi
intelijen yakni melalui Samudera Hindia. Namun karena fakta keamanan terbang
dan masalah logistik, diperlukan satu kali pendaratan untuk mengisi bahan
bakar; dan yang paling ideal adalah sebuah technical landing di Pulau Diego
Garcia, yaitu sebuah kepulauan atol di Samudera Hindia milik Inggris namun
dioperasikan oleh Amerika Serikat untuk mendukung logistik Armada Ke-6 AL AS
dalam mengawasi kawasan Samudera Hindia. Untuk itu diperlukan pendekatan ganda
baik kepada intelijen Inggris guna mendapatkan izin mendarat dan dengan intelijen
AS sebagai “penguasa” Diego Garcia.
Atol Diego Garcia dilihat dari udara. Pulau ini dipilih sebagai tempat transit untuk mengisi bahan bakar guna menghindari wilayah udara India yang mungkin membahayakan misi. |
Jarak tempuh garis lurus terpendek dari Jakarta
ke Rawalpindi sekitar 5.400 mil laut, namun sepertiga perjalanan harus
melintasi wilayah udara India. Karena itulah akhirnya dipilih rute penerbangan
Jakarta-Diego Garcia di Samudera Hindia dengan jarak 3.000 mil laut dan
dilanjutkan Diego Garcia-Rawalpindi di Pakistan utara sejauh 3.000 mil laut
lagi. Alhasil total jarak yang harus ditempuh bertamabah 600 mil laut dengan
total 6.000 mil laut.
Kumpulkan Senjata
Menurut catatan Mabes ABRI, persenjataan buatan
Uni Soviet di lingkungan ABRI tersebar di satuan-satuan TNI AU dan AD. Tim
sudah menyiapkan langkah-langkah untuk mengumpulkan dan kemudian mengondisikan
agar senjata ini aman untuk dikirim. Melalui sebuah surat perintah, semua
senjata ini dikumpulkan untuk kemudian didata. Memang setelah terkumpul dan
dihitung, senjata ini bisa digunakan untuk melengkapi dua batalion infanteri,
seperti yang dijanjikan LB Moerdani kepada mitra Pakistan-nya. Senjata-senjata
ini lalu dinilai satu persatu untuk melihat serviceability-nya. Apakah masih
berfungsi dengan baik atau tidak.
Tahap selanjatnya yang melelahkan adalah
menghapus semua nomor seri (serial number) setiap pucuk senjata guna
menghindari identitas pemilik awal. Suatu kegiatan yang sungguh menghabiskan
waktu dan tenaga demi suksesnya operasi intelijen. Kira-kira empat bulan
kemudian sejak operasi Permadani Terbang digulirkan, pada akhir Juni dinyatakan
bahwa seluruh persenjataan telah berhasil dikerok nomor serinya dan saat itu
terkumpul di gudang khusus yang disiapkan pihak intelijen di Lanud Halim
Perdanakusuma. Senjata yang berhasil dikumpulkan terdiri dari ribuan senapan
serbu AK-47, senjata berat STTB (senjata tanpa tolak batik), dan mortir.
Semuanya dimasukan ke dalam peti-peti dengan tanda “palang merah”, digabung
dengan bantuan berupa selimut dan obat-obatan.
Rencana penerbangan telah disusun dengan tujuh
awak terpilih terdiri dari tiga captain pilot, dua flight engineer, dan dua
cargo officers. Izin pendaratan teknis dari Inggris dan AS telah diterima. Izin
terbang lintas dan izin mendarat di Rawalpindi dari Pakistan juga sudah
diterima, termasuk kesiapan 20 truk untuk mengangkut bantuan dari bandara
Rawalpindi ke Badaber di Afghanistan. “Tidak mudah meminta izin ke Inggris dan
Amerika, namun karena jaringan intelijen Indonesia saat itu sangat bagus, izin
pun akhirnya mereka keluarkan,” jelas Teddy sambil menambah bahwa nama besar LB
Moerdani betul-betul jadi jaminan saat itu.
Untuk mendukung operasi di darat, telah disiapkan
dua perwira menengah BAIS dilengkapi peralatan Alkomsus (Alat Komunikasi
Khusus). Salah satu dari perwira ini berasal dari pasukan khusus. Kantor
kedutaan Indonesia di Islamabad, Pakistan termasuk atase pertahanan di KBRI
Kolonel Kay Harjanto, tidak dilibatkan untuk menghindari kemungkinan
terjadinya skandal diplomatik apabila pelaksanaan operasi bocor dan gagal.
Soal perwira penghubung ini seperti diceritakan Teddy, sengaja dipilihnya karena selain sedang penugasan di BAIS, dia adalah perwira yang menonjol dan berasal dari satuan elite. “Ketika Pak Benny tanya saya, siapa yang dipercaya, saya langsung sebut nama dia,” kata Teddy. Ada satu kejadian yang nyaris membuat cover si perwira terungkap. Satu pagi di hotel tempatnya menginap, perwira yang hobi olahraga ini melakukan senam militer. Hanya spontanitas tanpa maksud apa-apa, sebuah rutinitas yang dijalaninya puluhan tahun. Tanpa disadarinya seseorang menghampirinya sambil berucap, “Anda seorang tentara ya.” Kaget menerima pertanyaan, perwira ini hanya bersungut-sungut sambil membalas bahwa gerakan senam yang dia lakukan hanya berdasarkan kesukaann saja. “Saya bukan tentara,” ujarnya. Perwira ini diberangkatkan seorang diri dari Jakarta sambil membawa Alkomsus.
Pukul 20.00 WIB, 18 Juli 1981, dalam kesunyian
malam, iring-iringan truk keluar dari gudang khusus Pusat Intelijen Strategis
memasuki Lanud Halim Perdanakusuma. Truk-truk ini berjalan pasti menuju titik
bongkar. Setelah merapat, membongkar, dan memindahkan muatan berupa peti-peti
bertanda palang merah ke dalam B707 yang telah dilepas semua kursinya sehingga
menjadi pesawat kargo. Pukul 4 pagi tanggal 19 Juli 1981, semua muatan telah
tertata rapi di sepanjang fuselage B707. Pesawat lepas landas ke arah barat
menuju lautan bebas Samudera Hindia dengan sasaran kepulauan atol Diego Garcia,
pangkalan logistik Armada ke-6 AL AS.
Sesuai prosedur standar yang diatur dalam dunia
penerbangan internasional oleh ICAO, pilot dan kopilot tetap melapor di setiap
Flight Information Region (FIR). Pimpinan operasi yang ikut dalam penerbangan
mulai membuka hubungan melalui Alkomsus dengan pimpinan intelijen ABRI di
Jakarta dan anggota yang ditugaskan di Rawalpindi. Dengan kata lain terjadi
komunikasi segitiga di antara ketiga pelaku utama di balik operasi ini. Tugas
anggota khusus di Rawalpindi ini adalah secara tertutup melaporkan dan
berkoordinasi dengan pimpinan intelijen Pakistan di Rawalpindi guna menyiapkan
reception party petugas penerimaan dengan menyiapkan kendaraan truk dan crane
yang diperlukan untuk memindahkan muatan dari pesawat ke dalam truk yang sudah
disiapkan.
Setelah kurang lebih tujuh jam penerbangan,
pesawat mulai membuka hubungan radio dengan Diego Garcia seraya meminta izin
pendaratan (technical landing). Pesawat mendarat mulus dan dipandu menuju
special apron untuk mendapatkan pengisian bahan bakar. Kecuali dua loadmaster
dan seorang engineer yang akan mengawasi pelaksanaan pengisian bahan bakar,
pimpinan operasi bersama para pilot dan awak pesawat lainnya dijemput petugas
dari US Marine ke mess perwira untuk makan siang dan istirahat.
Diego Garcia adalah suatu gugusan kepulauan
karang (atol) di Samudera Hindia, terletak sangat strategis untuk mengawasi
lalu lintas kapal di Samudera Hindia meliputi kawasan Asia Tengah, Timur Tengah
dan pantai Barat Afrika. Kecuali letaknya yang memiliki titik strategis secara
militer, Diego Garcia adalah kepulauan yang tandus sehingga seluruh kebutuhan
kehidupan harus dipasok dari luar. Sebagai tempat singgah kapal perang Armada
ke-6 AL AS, Diego Garcia adalah tempat penimbunan logistik pendukung Armada
baik bagi kapal (perawatan) maupun awak kapalnya untuk rest and recreation
(R&R).
Bentuk bangunannya sangat fungsional seperti
bentuk barak militer namun dengan kelengkapan yang mewah dilengkapi kelab malam
dan toko kebutuhan prajurit serba ada (Army Navy PX). Tenaga-tenaga sipil yang
dipekerjakan selain warga negara Amerika, sebagian besar berasal dari Filipina
sehingga Diego Garcia dapat berfungsi dengan sangat nyaman bagi para awak yang
mendarat.
Selama pengisian bahan bakar, pimpinan operasi
dan kru yang tidak bertugas, berkesempatan menikmati makanan hangat ala publik
Amerika di kantin yang serba lengkap. Rombongan juga diajak meninjau PX mall
untuk window shopping dan keliling pulau meninjau obyek-obyek R&R awak
kapal yang serba lengkap dengan nuansa pantai seperti di Hawaii atau Bali.
Sambil menunggu waktu agar dapat mendarat di
Rawalpindi menjelang tengah madam, kami sempat selonjor melepaskan kepenatan.
Lepas maghrib ketika cakrawala mulai gelap menjelang malam, dengan bahan bakar
penuh dan lunch-boxes serta snacks untuk makan di perjalanan, B707 lepas landas
meninggalkan Diego Garcia, heading ke utara menuju daratan Asia Tengah dengan
tujuan Rawalpindi. Dua-pertiga waktu perjalanan terbang di atas Samudera Hindia
dan Laut Arab, akhirnya pesawat memasuki wilayah Pakistan dan mendarat di
Rawalpindi menjelang tengah malam.
Kontak radio dengan menara pengawas otoritas lalu lintas udara Pakistan terjalin dengan mulus ketika akan memasuki wilayah udara Karachi. Pesawat kemudian dipandu melintas ke utara menuju Rawalpindi.
Kurang lebih 100 nautical miles menjelang
Rawalpindi, kontak radio dengan menara pengawas lapangan telah terhubung untuk
dipandu melakukan pendaratan. Walaupun praktis tidak tidur nyenyak selama hampir
24 jam sejak proses pemuatan peti-peti bantuan, para penerbang mendaratkan
pesawat dengan mulus di lapangan udara Rawalpindi di tengah keheningan malam.
Pesawat dipandu oleh mobil follow me dari otoritas bandara menuju wilayah apron
yang tersembunyi serta jauh dari keramaian.
Segera setelah mesin dimatikan, seorang petugas
intelijen Pakistan melapor bahwa truk-truk pengangkut dan tim telah siap untuk
membongkar dan memindahkan muatan. Dengan cepat, cermat, dan efisien, tim
penerima (reception party) memindahkan muatan dari pesawat ke dalam truk-truk
yang disediakan. Menjelang subuh, seluruh peti-peti bertanda palang merah
bantuan obat-obatan dan selimut dari pemerintah dan rakyat Indonesia, telah
berjajar rapi. Setelah semua persiapan dinilai selesai, rombongan bergerak ke
barat laut dalam suatu konvoi yang panjang menuju Kota Badaber untuk diserahkan
kepada pimpinan Mujahidin.
Kepada awak pesawat diberikan kesempatan untuk
beristirahat di hotel berbintang empat di Rawalpindi. Mereka berhak mendapatkan
proses pemulihan yang mewah sebelum tugas dan misi berikutnya dijalankan.
Iring-iringan konvoi 20 truk dan satu jip pembuka dan penutup bergerak
menyongsong fajar pagi ke barat menuju perbatasan Pakistan-Afghanistan. Setelah
menempuh perjalanan darat melalui jalur-jalur jalan berbatu, sebelum tengah
hari konvoi memasuki wilayah Afghanistan yang dikuasai para Mujahidin. Secara
cepat dilakukan upacara sederhana penyerahan bantuan “obat-obatan dan selimut”
untuk para pengungsi korban perang di Afghanistan.
Dengan lega, setelah penyerahan, dengan jip yang
sama komando pimpinan operasi memutar arah keluar untuk kernbali ke wilayah
Pakistan, menuju Islamabad. Menjelang malam hari rombongan menuju hotel
International di Islamabad untuk selanjutnya melapor kepada pimpinan intelijen
ABRI dan istirahat.
Pagi harinya pimpinan operasi didampingi dua
perwira menengah BAIS di Rawalpindi dan petugas Alkomsus melaporkan kepada
pimpinan intelijen ABRI tentang pelaksanaan Operasi Babut Mabur. Pada malam
harinya pimpinan ISI Pakistan menjamu makan malam seluruh rombongan termasuk
awak pesawat, yang dimeriahkan dengan malam kesenian tradisional tarian
Pakistan sebagai ungkapan terima kasih dan berakhirnya kerjasama Operasi Babut
Mabur.
Jam sepuluh pagi keesokan harinya, seluruh
personel kembali ke Jakarta menumpang pesawat yang sama namun sudah dalam
keadaan kosong melompong dan dijadikan tempat tidur selama perjalanan pulang
langsung dari Islamabad ke Jakarta. Selain membawa seluruh personel Operasi
Babut Mabur ke Jakarta, di sudut lorong badan pesawat, terdapat
gulungan-gulungan karpet dari Pakistan yang terkenal mutunya sebagai
kenang-kenangan suksenya Operasi Babut Mabur.
Intelijen Itu Kepercayaan
Bangsa Afghanistan yang terdiri dari beberapa
suku (tribes) dengan Pastun dan Dari sebagai suku terbesar adalah bangsa
pejuang yang tidak pernah dikua sai penuh oleh bangsa manapun, termasuk Inggris
ketika menjajah India dan Pakistan (Asia Tengah). Kegigihan rakyat pejuang
Afghanistan, didukung oleh beratnya medan gunung dan bukit berbatu serta
banyaknya gua-gua tempat persembunyian, membuat Afghanistan menjadi suatu medan
perang gerilya yang ideal.
Seluruh wilayah Afghanistan ibarat suatu medan
penghalang yang besar untuk menyatukan wilayah timur dan barat benua Asia. Ada
dua jalan pendekat yang pada masa dahulu kala dijadikan jalur penghubung dan
dikenal sebagai Jalur Sutera, yakni lembah yang memanjang dari Khyber Pass ke
Kohat Pass. Melalui jalur ini seolah melalui jalur kematian karena dihadang
oleh para gerilyawan dari bukit-bukit sekelilingnya. Oleh karena itu sandaran
kekuatan utama pasukan Uni Soviet adalah kesatuan tank dan pesawat
tempur/helikopter. Namun tekanan gerilyawan yang berkepanjangan dan banyaknya
jumlah korban pasukan Uni Soviet yang tewas, pada akhirnya tahun 1992 Uni
Soviet menarik mundur pasukannya dengan harus membayar mahal 13.310 anggota
pasukannya terbunuh dan 35.478 anggota pasukan lukaluka serta 311 pasukannya
hilang dalam tugas (missing in action).
Soviet troops leaving Afghanistan, 1988. Photo by Mikhail Evstafiev / Wikimedia Commons. |
Pengalaman pahit pasukan Uni Soviet seperti mengulangi
pengalaman pahit pasukan Amerika Serikan ketika harus mundur dari Vietnam
dengan kerugian nyawa, harta, dan benda yang teramat besar dan menjadi beban
bangsa. Mengenang Operasi Babut Mabur, Teddy hanya bisa berucap pelan bahwa
keberhasilan operasi ini tidak lepas dari kehebatan badan intelijen ABRI saat
itu. Meski tidak memungkiri nama besar LB Moerdani, Teddy juga memberikan
apresiasi tinggi kepada perwira-perwira BAIS yang bermain di balik layar saat
itu, mempunyai integritas tinggi dalam dunia intelijen. “Dunia intelijen
membutuhkan kepercayaan’, tanpa itu tidak mungkin operasi seperti ini bisa
dilaksanakan,” beber mantan navigator Tu16 Badger dan pemegang Bintang Sakti
ini menutup perbincangan. (ben)
sumber : sejarahperang
No comments:
Post a Comment